PROFIL
Dengan ditetapkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; tuntutan terhadap penyelesaian berbagai permasalahan pembangunan di daerah semakin besar. Di samping itu, dengan semakin meningkatnya kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan juga kebutuhan pembangunan daerah, maka kebijakan otonomi daerah (power sharing) dan kebijakan desentralisasi keuangan (fiscal decentralization) menjadi agenda yang utama di berbagai daerah, khususnya di tingkat pemerintahan kabupaten dan kota. Paradigma baru pembangunan daerah sebagai konsekuensi atas implementasi dari kedua undang-undang tersebut, menuntut diciptakannya sistem dan mekanisme baru di dalam pembangunan daerah baik dalam skala makro maupun skala mikro (sektoral).
Selama ini, keberhasilan pembangunan di Indonesia pada umumnya dan pembangunan di daerah pada khususnya; tidak jarang menggunakan indikasi adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi. Besaran-besaran PDB (Produk Domestik Bruto) atau PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) disertai dengan perkembangan investasi yang berhasil dihimpun, sering menjadi indikator utama keberhasilan pembangunan. Sementara tingkat kesenjangan sosial ekonomi justru cenderung semakin meningkat, sehingga tidak jarang melahirkan lebih banyak lagi permasalahan-permasalahan sosial di masyarakat.
Di kawasan perkotaan, perdesaan maupun regional semakin dituntut adanya kerjasama dan koordinasi; baik di dalam aspek perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, maupun di dalam evaluasi atas hasil-hasil pelaksanaan pembangunan. Dengan semakin berkembangnya sifat keberagaman masyarakat yang disertai dengan berbagai permasalahan yang dihadapi, maka tata kepemerintahan yang baik (good governance) tidak lagi hanya dapat mengandalkan pola hubungan yang bersifat hierarkhis namun harus lebih bersifat kemitraan antar berbagai pelaku pembangunan (stakeholders). Dalam kondisi yang demikian, Pemerintah Daerah (Pemda) berperan sebagai fasilitator dan katalisator bagi masyarakat dalam mengembangkan potensinya untuk mencapai kebijakan yang telah ditetapkan. Paradigma ‘Pembangunan Daerah’ berubah menjadi paradigma ‘Daerah Membangun’ dengan pola kebijakan yang bergerak dari ‘top- down‘ dengan pemerintah sebagai penentu kebijakan; menjadi pola ‘bottom-up‘ yang mengharuskan peran aktif dari setiap elemen masyarakat.
Berdasar pada kondisi tersebut di atas, Perguruan Tinggi yang merupakan bagian dari unsur masyarakat, melalui peran sertanya dalam menerapkan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Keberadaan Pusat Informasi dan Pembangunan Wilayah (PIPW) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Sebelas Maret diharapkan mampu mengaktualisasikan konsep-konsep yang bersifat ilmiah ke dalam kehidupan bermasyarakat melalui implementasi dari pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu: Dharma Pendidikan dan Pengajaran, Dharma Penelitian dan Dharma Pengabdian kepada Masyarakat. Dengan kata lain semakin dekat dharma perguruan tinggi dengan kehidupan di masyarakat, diharapkan akan semakin memperkokoh keberadaan institusi perguruan tinggi, dalam ikut serta memecahkan persoalan-persolan yang terjadi di masyarakat.
Pusat Informasi dan Pembangunan Wilayah (PIPW) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Sebelas Maret sebagai bagian dari instutisi akademik, dituntut untuk selalu mengembangkan sikap akademiknya dalam mengatasi berbagai persoalan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, khususnya untuk membantu pemerintah di dalam menyelesaikan dan mengantisipasi berbagai persoalan yang muncul terkait dengan pelaksanaan Program Otonomi Daerah yang mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2001. Oleh karenanya, Pusat Informasi dan Pembangunan Wilayah (PIPW) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Sebelas Maret Surakarta, akan selalu konsisten dengan upaya peningkatan dan pengembangan dunia akademisi dan kemasyarakatan.